Selasa, 16 Mei 2017

RUKUN IMAN

A.                Pengertian Iman
I
man secara umum dipahami sebagai suatu keyakinan yang dibenarkan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan yang didasari niat yang tulus dan ikhlas dan selalu mengikuti petunjuk Allah SWT serta sunnah Nabi Muhammad SAW.[1] Apabila seseorang dikatakan sebagai orang mukmin (orang yang beriman) maka ia harus memenuhi tiga unsur keimanan yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Ketika salah satu dari tiga unsur keimanan tersebut tidak memenuhi, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai orang mukmin yang sempurna karena ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Seorang mukmin yang baik bukanlah yang hanya menunaikan ibadah yang wajib secara lahiriah semata atau sebatas menjauhi larangan saja, tetapi seorang mukmin yang sempurna imannya adalah yang bersih hatinya dari segala bentuk pengingkaran dan keraguan terhadap Allah SWT.[2]
Dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menunjukkan kata-kata iman, diantaranya terdapat pada firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah (2): 165) “Ada pun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah”. Orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah SWT kepadanya.[3]

B.                 Rukun Iman

   R
ukun iman yang dipahami oleh kaum muslimin secara umum meliputi Iman Kepada Allah SWT, Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab Allah, Iman Kepada Nabi dan Rasul Allah, Iman Kepada Hari Akhir, dan Iman Kepada Qadha dan Qadar.

1.                   Penjelasan Tentang 6 Rukun Iman:

a)                  Iman Kepada Allah SWT

Beriman kepada Allah SWT merupakan pangkal dari keimanan seseorang, tanpa iman kepada Allah SWT tidak mungkin seseorang dapat mengimani para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, Qadha dan Qadar.[4] Allah SWT ialah Tuhan seluruh alam, dialah yang berhak disembah, bukan yang lain, serta pemilik segala sesuatu.
Beriman kepada Allah SWT adalah wajib, Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya, Dialah yang pertama tanpa permulaan dan akhir tanpa penghabisan; tiada sesuatu yang menyamai-Nya, yang Esa tentang ketuhanan-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya; yang hidup dan pasti ada dan mengadakan segala yang ada; yang mendengarkan dan yang melihat; dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu, jika ia menghendaki sesuatu ia hanya berfirman “jadilah” maka jadilah sesuatu tersebut, dan Dia mengetahui segala yang dikerjakan manusia, yang bersabda dan memiliki segala sifat kesempurnaan, yang suci dari sifat mustahil dan segala kekurangan, Dialah yang menjadikan sesuatu menurut kemauan dan kehendak-Nya, segala sesuatu ada ditangan-Nya dan kepada-Nya akan kembali.[5]
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya “Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. At-Thagabun (64)

b)                  Iman Kepada Malaikat

Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang diciptakan dari Nur (Cahaya), ia tidak dapat dilihat atau diindrai dengan pancaindra manusia, dan malaikat mempunyai tugas-tugas yang diberikan oleh Allah SWT dan tidak sedikit pun melanggar dari perintah Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari beriman kepada Allah, maka orang islam harus pula beriman kepada malaikat; malaikat tersebut, seperti dijelaskan oleh hadits Aisyah R.A diciptakan dari Nur (Cahaya), sedangkan jin diciptakan dari Nar (Api).
Diriwayatkan dari Aisyah R.A beliau mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: malaikat itu diciptakan dari Nur (Cahaya), sedangkan jin diciptakan dari Nar (Api), dan adam (manusia) diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepadamu semua. (H.R. Muslim).[6]
Dadang Hawari (1999: 433) dalam tulisannya menyatakan bahwa “keimanan kepada malaikat sangat penting bagi individu mengingat, manusia dalam perjalanan hidupnya sering melanggar rambu-rambu moral dan etika dalam hubungannya dengan manusia lain”.[7] Dengan mempunyai keimanan kepada malaikat, manusia dalam hidupnya akan merasa ada yang mengawasi disetiap individu ada dua malaikat yang selalu bersama kita untuk melihat dan mencatat tingkah laku di bumi ini, oleh karena itu setiap individu harus lebih berhati-hati dalam bertindak dan berucap.

c)                   Iman Kepada Kitab Allah

Dalam kamus besar bahasa Indonesia iman diartikan sebagai kepercayaan atau keyakinan, sedangkan kitab (jama’nya kutub) adalah bentuk mashdar dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis, setelah menjadi mashdar artinya menjadi tulisan atau yang ditulis; yang dimaksud dengan kitab-kitab Allah dalam tulisan ini adalah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya.[8] Iman kepada kitab Allah mengandung makna bahwa individu meyakini bahwa ada kitab suci yang diturunkan Allah melalui rasul-rasul pilihannya, salah satu diantaranya adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi pedoman hidup bagi manusia sepanjang zaman, agar selamat di dunia dan akhirat.[9]

d)                  Iman Kepada Nabi dan Rasul Allah

Arkanul iman yang keempat adalah percaya kepada Rasul Allah. Rasul yang berarti utusan mengandung makna manusia-manusia pilihan yang menerima wahyu dari Allah dan betugas untuk menyampaikan isi wahyu (berita gembira dan pemberi peringatan [basyiran wa nadzira]) kepada tiap-tiap umatnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur’an menjelaskan tentang Rasul; ada yang diceritakan di dalam Al-Qur’an, ada juga sebagian yang tidak diceritakan. Rasul yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an hanyalah sebanyak 25 orang. Dalam Al-Qur’an surah Al-Mu’min (40) ayat 78 ditegaskan sebagian dari rasul ada yang diceritakan dan sebagian ada yang tidak diceritakan.
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seseorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan dalil dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.[10]
Iman kepada Nabi dan Rasul merupakan fondasi penting dalam islam; ia merupakan bagian dari rukun iman. Dalam kepercayaan islam, yang menghiasi tafsir terhadap Al-Qur’an tentang Nabi, ada yang menyebutkan bahwa jumlah nabi ada 124.000 orang. Namun berdasarkan yang disebut dalam Al-Qur’an, ada 25 Nabi dan Rasul, yaitu Adam, Idris, Nuh, Hud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syuaib, Musa, Harun, Dzulqifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan Muhammad.[11]
Beriman kepada Allah tidak mungkin dipisahkan dengan beriman kepada Rasul-Nya, sebab ajaran Allah yang disampaikan kepada ummat manusia adalah melalui Rasul. Oleh karena itu Allah menghukumi orang yang menolak beriman kepada Rasul sebagai orang yang durhaka, bahkan menggolongkannya sebagai orang kafir.[12]
Terlepas dari perdebatan jumlah nabi, yang umum disepakati oleh para ulama bahwa Nabi dan Rasul memiliki beberapa perbedaan, antara lain adalah:[13]
(1)          Rasul lebih tinggi dari jenjang Nabi.
(2)      Rasul diutus kepada kaum yang kafir, sedangkan Nabi diutus kepada kaum yang telah beriman.
(3)     Syari’at para Rasul berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau dengan kata lain bahwa para Rasul diutus denga membawa syari’at baru.
(4)   Seluruh Rasul yang diutus, Allah selamatkan dari percobaan pembunuhan yang dilancarkan oleh kaumnya.

e)                   Iman Kepada Hari Akhir

Iman kepada “hari akhir” mengandung makna bahwa individu meyakini bahwa pada saat yang tidak diketahui secara pasti akan datang hari penghabisan dari hari-hari di dunia atau disebut pula sebagai “hari kiamat”, pada hari itu bumi bergoyang mengeluarkan segala isinya, kemudian lenyap dan diganti dengan bumi yang lain, gunung-gunung pecah beterbangan menjadi pasir, langit terbelah hancur menjadi minyak, matahari digulung dan bintang-bintang berjatuhan. Pada saat itu amal setiap manusia baik atau buruk diperhitungkan dan mendapat balasannya.[14]
Secara filosofis segala sesuatu yang ada di alam ini pasti berakhir dan mengalami kehancuran. Tidak satu pun di dunia ini yang dapat bertahan dari kerusakan dan kebinasaan. Kehidupan manusia di dunia digambarkan dengan istilah datang dan pergi. Setiap saat ada yang lahir dan ada pula yang mati. Perhatikan proses perkembangan dan pertumbuhan hidup manusia; lahir, anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan mati. Namun, fakta kehidupan menunjukkan proses tumbuh kembang kehidupan manusia tidak selalu lurus; ada manusia yang mati pada saat dalam kandungan, ada yang mati pada saat remaja, dewasa, dan tua. Berakhirnya kehidupan tidak dipungkiri oleh akal manusia. Namun peristiwa setelah kematian dan hancurnya alam semesta merupakan misteri besar bagi akal manusia.[15]

f)                   Iman Kepada Qadha dan Qadar

Qadha biasanya diterjemahkan dengan berbagai arti seperti kehendak dan perintah. Qadar berarti batasan, menetapkan ukuran. Dalam buku teks pendidikan agama islam yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Pendidikan Agama Islam, dikutip dari Ar-Raghib dikatakan bahwa Qadar ialah menentukan batas (ukuran) sebuah rancangan, seperti besar dan umur alam semesta, lamanya siang dan malam, anatomi dan fisiologi makhluk nabati dan hewani, dan lain-lain. Sedangkan Qadha ialah menetapkan rancangan tersebut atau secara sederhana Qadha adalah ketetetapan Allah yang telah ditetapkan (tetapi tidak diketahui), sedang Qadar ialah ketetapan Allah yang telah terbukti (diketahui sudah terjadi).[16]
Iman kepada takdir Allah mengandung makna bahwa ada ketentuan Allah yang pasti berlaku untuk setiap individu, apa yang diupayakan individu bisa terwujud hanya dengan izin Allah, musibah yang menimpa individu juga tidak mungkin terjadi tanpa izin Allah. Individu yang telah mengimani takdir dengan sepenuh hati (ridha) menerima ketentuan Allah yang berlaku atas dirinya sambil terus menerus berikhtiar.[17] Mengenai Qadha dan Qadar muhammadiyah menyatakan:
Kita wajib percaya bahwa Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dan Dia telah menyuruh dan melarang. Dan perintah Allah adalah kepastian yang telah ditentukan. Dan bahwasannya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Dia menciptakan segala kejadian dan mengatur segala yang ada dengan pengetahuan, ketentuan, kebijaksanaan, dan kehendak-Nya. Ada pun segala yang dilakukan oleh manusia itu semuanya atas Qadha dan Qadar-Nya. Sedangkan manusia sendiri hanya dapat berikhtiar.[18]
Dari simpulan di atas bisa dipahami, bahwa ada hikmah di balik keyakinan terhadap takdir Allah yaitu:[19]
(1)          Individu akan sadar bahwa ada batas-batas maksimal yang tidak mungkin dicapainya, dan hal itu sepenuhnya adalah hak Allah. Kewajiban manusia adalah berikhtiar sesuai kemampuannya.
(2)           Individu tidak mudah stres jika gagal dan tidak pula menyombongkan diri ketikasukses, sebab sukses maupun gagal pada dasrnya sama-sama ketentuan Allah.
(3)     Menumbuhkan kesadaran pada individu bahwa ia harus selalu mohon petunjuk dan pertolongan Allah agar terhindar dari takdir yang negatif, dan ditunjukan bahwa jalan memperoleh takdir positif.




[1] Rois Mahfud, 2011. Al-Islam Pendidikan Agama Islam. Pelangka Raya: Erlangga, hlm. 12
[2] Imam Ibnu Al-Jauziy, 2004. Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup. Rangkasbitung: Maghfirah Pustaka, hlm. 320
[3] Rois Mahfud, op.cit, hlm. 13
[4] Bunyamin, dkk, 2012. AQIDAH Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: UHAMKA PRESS, hlm. 105
[5] Ibid, hlm. 106
[6] Ibid, hlm. 134
[7] Anwar Sutoyo, 2013. Bimbingan & Konseling Islami (Teori dan Praktik). Semarang: Pustaka Pelajar, hlm 152
[8] Bunyamin, dkk, op.cit, hlm. 153
[9] Anwar Sutoyo, op.cit, hlm 154
[10] Rois Mahfud, op.cit, hlm. 18
[11] Bunyamin, dkk, op.cit, hlm. 178
[12] Anwar Sutoyo, op.cit, hlm. 154
[13] Bunyamin, dkk, loc.cit.
[14] Anwar Sutoyo, op.cit, hlm. 159
[15] Bunyamin, dkk, op.cit, hlm. 193
[16] Rois Mahfud, op.cit, hlm. 21
[17] Anwar Sutoyo, op.cit, hlm. 161
[18] Bunyamin, op.cit, hlm. 220
[19] Anwar Sutoyo, loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar